Saturday, January 9, 2016

A Little Note of Parapat Journey


Last year was a very exciting year for me. I even would call it a great adventure year since I was able to explore and visit many new awesome places that were written in my bucket lists. Indeed, the last tour at the end of 2015 was unforgettable and too precious to be forgotten. Therefore, I’d like to keep and share the story through this blog.
 
Tanggal 27 Desember 2015 tepatnya pukul 9 malam, saya beserta rombongan karyawan Dayah Modern Yapena lainnya berangkat dari Lhokseumawe menuju kota Medan. Di perjalanan, kami mengalami beberapa hambatan, mulai dari insiden bus yang kami tumpangi nyaris terbakar di daerah Kuala Simpang dan aksi pencopetan saat kami sedang melaksanakan shalat Shubuh di salah satu mesjid di daerah Stabat. Hingga akhirnya kami pun tiba di kota Medan pukul 8.30 pagi dengan perut keroncongan dan mata sembab akibat kurang nyenyak tidur.
 Sarapan pagi di Amaliun food court

Setelah menyantap sarapan pagi di Amaliun food court, kami pun melanjutkan perjalanan dari kota Medan menuju Parapat yang ditempuh selama 5 jam. Rute perjalanan kali ini, kami ditemani oleh seorang tour guide yang baik hati, Mbak Sari. Beliau menginformasikan tempat tujuan berikutnya; kedai oleh-oleh PATEN dan rumah makan beringin indah 2 di Pematang Siantar, juga berbagi cerita tentang sejarah kota Medan dan budaya Batak yang akhirnya berhasil meninabobokan kami yang memang kurang istirahat sebelumnya. Hihi..peace Mbak Sari :)

Setibanya di Pematang Siantar, kami pun dibangunkan dan diberitahu bahwa bus akan berhenti di kedai oleh-oleh bernama PATEN. Di kedai ini kita bisa mendapatkan oleh-oleh khas Pematang Siantar yaitu tang-tang, teng-teng, pang-pang, peng-peng. Apakah itu? Saya tidak ahli dalam menjelaskannya. Tapi menurut saya, kesemuanya adalah kreasi olahan yang berbahan dasar kacang, hanya saja masing-masing tang-tang, teng-teng, pang-pang, peng-peng memiliki bahan tambahan yang berbeda. Karena kekhasan dan kelezatannya, harga per pcs nya pun lumayan menguras kantong, Rp. 25.000/pcs :) .Beginilah contoh kemasan tang-tang, teng-teng, pang-pang, peng-peng.

Dari kedai PATEN, kami pun bergerak menuju rumah makan beringin 2 dengan menu spesial burung goreng. Konon katanya Pematang Siantar dikenal dengan kuliner burung gorengnya. Dan benar saja, burung goreng yang disajikan di sini sangat yummy dan crunchy. Tidak hanya burung gorengnya saja yang nikmat, menu-menu pendukung lain seperti ikan asam manis, tahu dan tempe gorengnya pun mantap. Pokoknya, top markotop deh.  
 Menu burung goreng

Perut kenyang, hatipun senang. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju real destination kami, Parapat. Kembali Mbak Sari meng-update informasi bahwa kami nantinya akan stay di Parapat View Hotel (ada kolam berenangnya..yeay!!!) dan akan mengeksplor pulau Samosir keesokan paginya. 

Pukul 3.30 sore, kami pun tiba di tempat penginapan dan langsung check in ke kamar masing-masing juga tak lupa menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara qashar. Dibimbing oleh rasa “kekampungan” yang saya dan beberapa teman saya miliki, instead of taking rest, kami pun mengeksplor fasilitas hotel, berenang sembari menikmati pemandangan indah yang terhampar, dan pastinya tak lupa untuk berpose dan mendokumentasikan perjalanan ini. Pukul 7 malam kami pun menikmati makan malam yang disediakan pihak hotel dan akhirnya tumbang setelah lelah seharian di perjalanan. 
 Pemandangan danau Toba dari Parapat View Hotel dan berpose sebelum berenang ;)

Keesokan paginya, kami sarapan di restoran hotel dan kembali menikmati pemandangan sekitar. Di luar hotel, banyak pedagang yang menjajakan oleh-oleh ikan asin. Uniknya, ikan yang diasinkan adalah ikan nila dan harga yang ditawarkan sangat reasonable dan bisa semakin murah tergantung pada kemampuan pembeli dalam hal tawar-menawar. Hihi. Maka tak heran, salah seorang teman saya bisa membeli 3 ekor ikan asin besar dengan harga hanya Rp. 30.000 saja.

Pukul 8 setelah check out, petualangan pun dimulai. Rombongan berangkat menuju dermaga menuju pulau Samosir menggunakan kapal pariwisata. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Batu Gantung. Apa itu batu gantung dan ceritanya, silahkan google sendiri :) Karena batu gantung berada di tebing danau, jadi kami hanya bisa melihat batu gantung dari kapal yang kami tumpangi. 
Can you spot the Batu Gantung?
Dari batu gantung, kami melanjutkan perjalanan ke Ambarita melewati daerah Tuk-Tuk (penginapan dengan pemandangan spektakuler di pinggir Samosir). 
Salah satu penginapan asri nan indah di kawasan Tuk Tuk
Sesampainya di dermaga, kami pun disambut oleh pemandangan patung panghulu balang. Konon, pada zaman dahulu, masyarakat Batak masih percaya dengan “black magic” dan katanya patung ini telah diberi jampi-jampi oleh dukun. Dan mereka percaya patung tersebut bisa melindungi mereka baik dari gangguan roh-roh jahat dan manusia yang berniat jahat.
 Patung Panghulu Balang

Di jarak 100 meter perjalanan menuju Ambarita, terdapat tugu hijau kuning yang berada di tengah kampung yang merupakan kuburan raja Siallagan, raja yang dulunya berkuasa di Pulau Samosir.  Adapun tradisi orang Batak di Toba dari dulu hingga sekarang, jika ada yang meninggal dunia, sesuadah dikubur 10 – 15 tahun maka kuburannya akan dibongkar dan tulang belulangnya akan dipindahkan ke kuburan yang kedua. Dan tugu tersebut adalah kuburan yang kedua Raja Siallagan. 
 Kuburan Raja Sialagan

Di depan pintu masuk kampung ini terdapat tulisan Huta Siallagan. Dalam bahasa Batak, Huta berarti kampung. Kampung ini bernama Huta Ambarita Siallagan. Ambarita sendiri di dalam bahasa Batak berarti tersiar. Kampung ini dikelilingi oleh benteng dan dulunya di atas benteng ditanami pohon bambu sebagai tembok pertahanan kerajaan Batak dari serangan musuh ataupun binatang buas. Pintu masuk dan keluar kampung ini pun hanya ada satu guna mengetahui siapa saja yang masuk dan keluar kampung dengan mudah. 
Pintu masuk ke Ambarita
Di kampung Ambarita terdapat beberapa rumah adat Batak Toba. Adapun rumah yang ada sekarang merupakan replika dari rumah asli. Yang mana rumah adat asli seharusnya dibangun tanpa menggunakan satu buah paku-pun tapi menggunakan teknik pasak untuk menghubungkan satu kayu dengan kayu lainnya. Selain itu, rumah asli menggunakan atap ijuk bukan atap seng seperti sekarang ini. Rumah Batak terdiri dari 3 tingkat. Bahagian tengah digunakan sebagai ruang keluarga, bagian paling atas sebagai tempat penyimpanan barang berharga dan paling bawah sebagai tempat memelihara binatang peliharaan. Sementara bagian bawah rumah raja, digunakan sebagai penjara. 

 Bagian bawah rumah raja yang digunakan sebagai penjara 

Walaupun rumah batak bertingkat 3, setiap rumah hanya terdapat satu kamar. Jadi, saat anak berusia 10 tahun, maka mereka akan tidur terpisah dari orang tuanya. Semua anak perempuan yang belum menikah akan tidur di satu rumah. Sementara anak laki-laki yang belum menikah akan tidur di “sopwo” (sejenis balai tanpa dinding dan terdapat kamar di bagian atas). 
 Rumah adat Batak Toba

Di depan rumah-rumah Batak ini terdapat kursi-kursi dan meja yang terbuat dari batu yang usianya lebih kurang 500 tahun. Di tempat ini, raja Sialagan mengadakan rapat seperti memutuskan hari terbaik untuk memotong padi, penetuan hari pernikahan anak perempuan raja, rapat penyelesaian masalah dan juga dimanfaatkan sebagai pengadilan. 
 Meja dan kursi-kursi yang terbuat dari batu

Setelah mendengar penjelasan dari guide kami mengenai sejarah kampung Ambarita dan kerajaan Sialagan, kami pun dipersilahkan untuk menggunakan ulos( kain adat Batak) dan kemudian menortor bersama-sama di depan patung sigale-gale. :)
Menggunakan ulos dan berpose di depan si gale-gale
Selanjutnya, kami pun diajak untuk menyaksikan simulasi eksekusi pidana. Terpidana pastilah orang yang melakukan 1 dari 4 kesalahan besar; mengganggu keluarga raja, mengganggu istri raja, membunuh dan memperkosa. Proses eksekusi dilakukan di atas meja eksekusi dan raja-raja dari desa lain juga ikut duduk menyaksikan prosesi tersebut. 

 Proses eksekusi di meja eksekusi
Rangkaian pengenalan budaya Batak Toba pun selesai, dan kami diberi waktu untuk berbelanja dan harus telah kembali ke dermaga pukul 12.30 untuk melanjutkan perjalanan menuju Tomok. Sebelumnya, kami telah diberi tips oleh Mbak Sari untuk mengucapkan horas dengan lantang sebanyak 3 kali dengan harapan bisa mendapat diskon besar hingga 30%. Pukul 1 siang kami pun tiba di kampung Tomok, dan hanya diberi waktu 30 menit untuk kembali melanjutkan shopping. 
 Suasana Pasar Ambarita
Di Pasar Tomok

Kemudian, kami pun beranjak dari Tomok dan kembali ke Parapat untuk menyantap hidangan makan siang di rumah makan Minang dan menunaikan shalat di Mesjid Raya Parapat, Mesjid Taqwa.

Setelah seru-seruan di Parapat, dengan berat berat hati harus melambaikan tangan dan mengucapkan Good bye Parapat!!! Di tengah perjalanan, kami singgah di sebuah puncak yang bernama puncak Simarjarunjung sambil menikmati sepotong pisang goreng dan secangkir bandrek hangat. Puncak tertinggi di Parapat ini selalu hujan dan berkabut dan memiliki pemandangan yang sangat indah. 
 Bandrek dan Sekelabat Pemandangan Puncak Simarjarunjung :)
Setelah menikmati dan menjelajahi puncak Simarjarunjung, kami pun melanjutkan perjalanan dan berhenti makan malam di restoran Meksiko, Berastagi. Hingga akhirnya pukul setengah 12 malam, kami tiba di hotel Madani dan beristirahat agar bisa melanjutkan petualangan berikutnya di esok hari.


 Special thanks to Mass Media Group who facilitated us with such luxurious facilities and wonderful adventure.