Last year was a very exciting year for me. I even would call it a great adventure year since I was able to explore and visit many new awesome places that were written in my bucket lists. Indeed, the last tour at the end of 2015 was unforgettable and too precious to be forgotten. Therefore, I’d like to keep and share the story through this blog.
Tanggal
27 Desember 2015 tepatnya pukul 9 malam, saya beserta rombongan karyawan Dayah
Modern Yapena lainnya berangkat dari Lhokseumawe menuju kota Medan. Di
perjalanan, kami mengalami beberapa hambatan, mulai dari insiden bus yang kami
tumpangi nyaris terbakar di daerah Kuala Simpang dan aksi pencopetan saat kami
sedang melaksanakan shalat Shubuh di salah satu mesjid di daerah Stabat. Hingga
akhirnya kami pun tiba di kota Medan pukul 8.30 pagi dengan perut keroncongan
dan mata sembab akibat kurang nyenyak tidur.
Sarapan pagi di Amaliun food court
Setelah
menyantap sarapan pagi di Amaliun food court, kami pun melanjutkan perjalanan
dari kota Medan menuju Parapat yang ditempuh selama 5 jam. Rute perjalanan kali
ini, kami ditemani oleh seorang tour guide yang baik hati, Mbak Sari. Beliau menginformasikan
tempat tujuan berikutnya; kedai oleh-oleh PATEN dan rumah makan beringin indah
2 di Pematang Siantar, juga berbagi cerita tentang sejarah kota Medan dan
budaya Batak yang akhirnya berhasil meninabobokan kami yang memang kurang
istirahat sebelumnya. Hihi..peace Mbak Sari :)
Setibanya
di Pematang Siantar, kami pun dibangunkan dan diberitahu bahwa bus akan
berhenti di kedai oleh-oleh bernama PATEN. Di kedai ini kita bisa mendapatkan
oleh-oleh khas Pematang Siantar yaitu tang-tang, teng-teng, pang-pang,
peng-peng. Apakah itu? Saya tidak ahli dalam menjelaskannya. Tapi menurut saya,
kesemuanya adalah kreasi olahan yang berbahan dasar kacang, hanya saja
masing-masing tang-tang, teng-teng, pang-pang, peng-peng memiliki bahan
tambahan yang berbeda. Karena kekhasan dan kelezatannya, harga per pcs nya pun
lumayan menguras kantong, Rp. 25.000/pcs :) .Beginilah
contoh kemasan tang-tang, teng-teng, pang-pang, peng-peng.
Dari
kedai PATEN, kami pun bergerak menuju rumah makan beringin 2 dengan menu
spesial burung goreng. Konon katanya Pematang Siantar dikenal dengan kuliner
burung gorengnya. Dan benar saja, burung goreng yang disajikan di sini sangat yummy
dan crunchy. Tidak hanya burung gorengnya saja yang nikmat, menu-menu
pendukung lain seperti ikan asam manis, tahu dan tempe gorengnya pun mantap.
Pokoknya, top markotop deh.
Menu burung goreng
Perut
kenyang, hatipun senang. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju real
destination kami, Parapat. Kembali Mbak Sari meng-update informasi bahwa kami
nantinya akan stay di Parapat View Hotel (ada kolam berenangnya..yeay!!!) dan
akan mengeksplor pulau Samosir keesokan paginya.
Pukul
3.30 sore, kami pun tiba di tempat penginapan dan langsung check in ke kamar
masing-masing juga tak lupa menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara qashar. Dibimbing
oleh rasa “kekampungan” yang saya dan beberapa teman saya miliki, instead of taking
rest, kami pun mengeksplor fasilitas hotel, berenang sembari menikmati
pemandangan indah yang terhampar, dan pastinya tak lupa untuk berpose dan
mendokumentasikan perjalanan ini. Pukul 7 malam kami pun menikmati makan malam
yang disediakan pihak hotel dan akhirnya tumbang setelah lelah seharian di
perjalanan.
Pemandangan danau Toba dari Parapat View Hotel dan berpose sebelum berenang ;)
Keesokan
paginya, kami sarapan di restoran hotel dan kembali menikmati pemandangan
sekitar. Di luar hotel, banyak pedagang yang menjajakan oleh-oleh ikan asin.
Uniknya, ikan yang diasinkan adalah ikan nila dan harga yang ditawarkan sangat reasonable
dan bisa semakin murah tergantung pada kemampuan pembeli dalam hal
tawar-menawar. Hihi. Maka tak heran, salah seorang teman saya bisa membeli 3
ekor ikan asin besar dengan harga hanya Rp. 30.000 saja.
Pukul
8 setelah check out, petualangan pun dimulai. Rombongan berangkat menuju dermaga
menuju pulau Samosir menggunakan kapal pariwisata. Tempat pertama yang kami
kunjungi adalah Batu Gantung. Apa itu batu gantung dan ceritanya, silahkan
google sendiri :) Karena batu gantung berada di tebing danau,
jadi kami hanya bisa melihat batu gantung dari kapal yang kami tumpangi.
Can you spot the Batu Gantung?
Dari
batu gantung, kami melanjutkan perjalanan ke Ambarita melewati daerah Tuk-Tuk
(penginapan dengan pemandangan spektakuler di pinggir Samosir).
Salah satu penginapan asri nan indah di kawasan Tuk Tuk
Sesampainya
di dermaga, kami pun disambut oleh pemandangan patung panghulu balang. Konon,
pada zaman dahulu, masyarakat Batak masih percaya dengan “black magic”
dan katanya patung ini telah diberi jampi-jampi oleh dukun. Dan mereka percaya
patung tersebut bisa melindungi mereka baik dari gangguan roh-roh jahat dan
manusia yang berniat jahat.
Patung Panghulu Balang
Di
jarak 100 meter perjalanan menuju Ambarita, terdapat tugu hijau kuning yang
berada di tengah kampung yang merupakan kuburan raja Siallagan, raja yang
dulunya berkuasa di Pulau Samosir.
Adapun tradisi orang Batak di Toba dari dulu hingga sekarang, jika ada
yang meninggal dunia, sesuadah dikubur 10 – 15 tahun maka kuburannya akan
dibongkar dan tulang belulangnya akan dipindahkan ke kuburan yang kedua. Dan
tugu tersebut adalah kuburan yang kedua Raja Siallagan.
Kuburan Raja Sialagan
Di
depan pintu masuk kampung ini terdapat tulisan Huta Siallagan. Dalam bahasa
Batak, Huta berarti kampung. Kampung ini bernama Huta Ambarita Siallagan.
Ambarita sendiri di dalam bahasa Batak berarti tersiar. Kampung ini dikelilingi
oleh benteng dan dulunya di atas benteng ditanami pohon bambu sebagai tembok
pertahanan kerajaan Batak dari serangan musuh ataupun binatang buas. Pintu
masuk dan keluar kampung ini pun hanya ada satu guna mengetahui siapa saja yang
masuk dan keluar kampung dengan mudah.
Di
kampung Ambarita terdapat beberapa rumah adat Batak Toba. Adapun rumah yang ada
sekarang merupakan replika dari rumah asli. Yang mana rumah adat asli
seharusnya dibangun tanpa menggunakan satu buah paku-pun tapi menggunakan teknik
pasak untuk menghubungkan satu kayu dengan kayu lainnya. Selain itu, rumah asli
menggunakan atap ijuk bukan atap seng seperti sekarang ini. Rumah Batak terdiri
dari 3 tingkat. Bahagian tengah digunakan sebagai ruang keluarga, bagian paling
atas sebagai tempat penyimpanan barang berharga dan paling bawah sebagai tempat
memelihara binatang peliharaan. Sementara bagian bawah rumah raja, digunakan
sebagai penjara.
Walaupun rumah batak bertingkat 3, setiap rumah hanya terdapat satu kamar. Jadi, saat anak berusia 10 tahun, maka mereka akan tidur terpisah dari orang tuanya. Semua anak perempuan yang belum menikah akan tidur di satu rumah. Sementara anak laki-laki yang belum menikah akan tidur di “sopwo” (sejenis balai tanpa dinding dan terdapat kamar di bagian atas).
Bagian bawah rumah raja yang digunakan sebagai penjara
Walaupun rumah batak bertingkat 3, setiap rumah hanya terdapat satu kamar. Jadi, saat anak berusia 10 tahun, maka mereka akan tidur terpisah dari orang tuanya. Semua anak perempuan yang belum menikah akan tidur di satu rumah. Sementara anak laki-laki yang belum menikah akan tidur di “sopwo” (sejenis balai tanpa dinding dan terdapat kamar di bagian atas).
Rumah adat Batak Toba
Di depan rumah-rumah Batak ini terdapat kursi-kursi dan meja yang terbuat dari batu yang usianya lebih kurang 500 tahun. Di tempat ini, raja Sialagan mengadakan rapat seperti memutuskan hari terbaik untuk memotong padi, penetuan hari pernikahan anak perempuan raja, rapat penyelesaian masalah dan juga dimanfaatkan sebagai pengadilan.
Meja dan kursi-kursi yang terbuat dari batu
Setelah
mendengar penjelasan dari guide kami mengenai sejarah kampung Ambarita dan
kerajaan Sialagan, kami pun dipersilahkan untuk menggunakan ulos( kain adat
Batak) dan kemudian menortor bersama-sama di depan patung sigale-gale. :)
Menggunakan ulos dan berpose di depan si gale-gale
Selanjutnya,
kami pun diajak untuk menyaksikan simulasi eksekusi pidana. Terpidana pastilah
orang yang melakukan 1 dari 4 kesalahan besar; mengganggu keluarga raja,
mengganggu istri raja, membunuh dan memperkosa. Proses eksekusi dilakukan di
atas meja eksekusi dan raja-raja dari desa lain juga ikut duduk menyaksikan
prosesi tersebut.
Proses eksekusi di meja eksekusi
Rangkaian
pengenalan budaya Batak Toba pun selesai, dan kami diberi waktu untuk
berbelanja dan harus telah kembali ke dermaga pukul 12.30 untuk melanjutkan
perjalanan menuju Tomok. Sebelumnya, kami telah diberi tips oleh Mbak Sari
untuk mengucapkan horas dengan lantang sebanyak 3 kali dengan harapan bisa
mendapat diskon besar hingga 30%. Pukul 1 siang kami pun tiba di kampung Tomok,
dan hanya diberi waktu 30 menit untuk kembali melanjutkan shopping.
Suasana Pasar Ambarita
Kemudian,
kami pun beranjak dari Tomok dan kembali ke Parapat untuk menyantap hidangan
makan siang di rumah makan Minang dan menunaikan shalat di Mesjid Raya Parapat,
Mesjid Taqwa.
Setelah
seru-seruan di Parapat, dengan berat berat hati harus melambaikan tangan dan
mengucapkan Good bye Parapat!!! Di tengah perjalanan, kami singgah di sebuah
puncak yang bernama puncak Simarjarunjung sambil menikmati sepotong pisang goreng dan secangkir bandrek hangat. Puncak tertinggi di Parapat ini
selalu hujan dan berkabut dan memiliki pemandangan yang sangat indah.
Bandrek dan Sekelabat Pemandangan Puncak Simarjarunjung :)
Setelah
menikmati dan menjelajahi puncak Simarjarunjung, kami pun melanjutkan
perjalanan dan berhenti makan malam di restoran Meksiko, Berastagi. Hingga
akhirnya pukul setengah 12 malam, kami tiba di hotel Madani dan beristirahat
agar bisa melanjutkan petualangan berikutnya di esok hari.
Special
thanks to Mass Media Group who facilitated us with such luxurious facilities
and wonderful adventure.
No comments:
Post a Comment